Minggu, 13 Mei 2012

Jenis Makna (Semantik)



A.     Latar Belakang
Bahasa pada dasarnya digunakan untuk berbagai kegiatan dan keperluan dalam kehidupan bermasyarakat, maka makna bahasa pun sangat bermacam-macam bila dilihat dari beberapa kriteria dan sudut pandang. Jenis makna itu sendiri menurut Abdul Chaer dalam buku “Pengantar Semantik Bahasa Indonesia”, dibagi menjadi tujuh jenis makna, diantaranya:
  1. Berdasarkan jenis semantiknya dibedakan menjadi makna leksikal dan makna gramatikal.
  2. Berdasarkan ada tidaknya referen pada sebuah kata atau leksem dibedakan menjadi makna referensial dan makna nonreferensial.
  3. Berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata atau leksem dibedakan menjadi makna denotasi dan makna konotasi.
  4. Berdasarkan ketepatan maknanya dibedakan menjadi makna kata dan makna istilah atau makna umum dan makna khusus.
  5. Berdasarkan ada atau tidak adanya hubungan (asosiasi, refleksi) makna sebuah kata dengan makna kata lain dibagi menjadi makna konseptual dan makna asosiatif.
  6. Berdasarkan bisa atau tidaknya diramalkan atau ditelusuri, baik secara leksikal maupun gramatikal dibagi menjadi makna idiomatikal dan peribahasa.
  7. Kata atau leksem yang tidak memiliki arti sebenarnya, yaitu oposisi dari makna sebenarnya disebut makna kias.
B.     Rumusan Masalah
Apa jenis-jenis makna dalam penggunaannya?
C.     Tujuan
Berdasarkan permasalahan tersebut tujuan makalah ini adalah untuk mendeskripsikan jenis-jenis makna dalam semantik leksikal.


D.    Pembahasan


JENIS MAKNA
Terdapat beberapa pendapat mengenai  jenis makna. Abdul Chaer (2007: 289) mengemukakan jenis-jenis makna: (i) makna leksikal, grammatikal, dan kontekstual, (ii)  makna referensial dan non-referensial, (iii) makna denotatif dan makna konotatif, (iv) makna konseptual dan makna asosiatif, (v) makna kata dan makna istilah, (vi) makna idiom dan peribahasa, sedangkan Shipley, Ed, (1962: 261-262) berpendapat bahwa makna mempunyai jenis: (i) makna emotif, (ii) makna kognitif, (iii) makna referensial, (iv) makna piktorial, (v) makna kamus,  dan (vi) makna inti. Tentu masih banyak pendapat lain yang dapat ditambahkan sehingga makin lengkaplah jenis-jenis makna tersebut.
Berikut ini akan dipaparkan jenis-jenis makna tersebut.
1.      Makna Leksikal, Grammatikal, dan Kontekstual
Makna leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada pada leksem meski tanpa konteks apapun. Misalnya, leksem kuda memiliki makna leksikal ‘ sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai’; pinsil bermakna leksikal ‘ sejenis alat tulis yang terbuat dari kayu dan arang’; dan air bermakna leksikal ‘ sejenis barang cair yang biasa digunakan untuk keperluan sehari-hari’. Jadi, dengan adanya contoh di atas dapat dikatakan juga bahwa makna leksikal adalah makna yang sebenarnya, makna yang sesuai dengan hasil  observasi indera kita, atau makna apa adanya. Makna leksikal juga merupakan  makna yang  ada dalam  kamus karena kamus-kamus dasar biasanya hanya  memuat makna leksikal yang dimiliki oleh kata yang dijelaskannya.
Makna leksikal atau makna semantik, atau makna eksternal juga merupakan makna kata ketika kata itu berdiri sendiri, entah dalam bentuk leksem atau berimbuhan yang maknanya kurang lebih tetap seperti yang dapat dibaca di dalam kamus bahasa tertentu. “Makna leksikal ini dipunyai unsur bahasa-bahasa lepas dari penggunaannya atau konteksnya (Harimurti, 1982: 103). Veerhar (1983; 9) berkata, “………sebuah kamus merupakan contoh yang tepat dari semantik leksikal: makna tiap-tiap kata diuraikan di situ” (Mansoer Pateda, R, 2002: 119).
Berbeda dengan makna leksikal, makna gramatikal baru ada kalau terjadi proses gramatikal, seperti  afiksasi, reduplikasi, komposisi, atau kalimatisasi. Misalnya, dalam proses afiksasi prefiks ber-dengan dasar baju melahirkan makna gramatikal ‘ mengenakan  atau memakai baju’; dengan dasar kuda melahirkan makna gramatikal ‘ mengendarai kuda’; dengan dasar rekreasi melahirkan makna gramatikal ‘ melakukan  rekreasi’. Contoh lain, proses komposisi dasar sate dengan  dasar  ayam melahirkan makna  gramatikal ‘bahan’;  dengan dasar  madura melahirkan makna gramatikal ‘ asal’; dengan dasar lontong melahirkan  makna  gramatikal ‘  bercampur’; dan dengan  kata Pak Kumis melahirkan makna gramatikal ‘buatan’. Sintaksisasi kata-kata adik, menendang, dan bola menjadi kalimat adik menendang bola melahirkan makna gramatikal; adik  bermakna ‘pelaku’, menendang bermakna ‘aktif’, dan bola bermakna ‘sasaran’.  
Makna kontekstual adalah  makna sebuah leksem atau kata yang berada di dalam satu konteks. Contoh makna konteks kata kepala pada kalimat-kalimat berikut:
1.      Rambut di kepala nenek belum ada yang putih. 
2.      Sebagai kepala sekolah dia harus menegur murid itu.
3.      Nomor teleponnya ada pada kepala surat itu.
4.      Kepala paku dan kepala jarum tidak sama bentuknya.
Makna konteks dapat juga berkenaan dengan situasinya, yakni tempat, waktu, dan lingkungan penggunaan bahasa itu. Contoh:

Tiga kali empat berapa?
Jika dilontarkan di kelas tiga SD sewaktu mata pelajaran matematika berlangsung, tentu akan dijawab “dua belas”. Kalau dijawab lain, maka jawaban itu pasti salah. Namun, kalau pertanyaan itu dilontarkan pada tukang foto di tokonya atau di tempat kerjanya, maka pertanyaan itu mungkin akan dijawab “dua ratus”, atau mungkin juga “tiga ratus”, atau mungkin juga jawaban lain. Mengapa bisa begitu, sebab pertanyaan itu mengacu pada biaya pembuatan pasfoto yang berukuran tiga kali empat centimeter.


2.      Makna Referensial dan Non-referensial
Menurut Abdul Chaer (2007:291) sebuah kata atau leksem disebut bermakna referensial kalau ada referensnya, atau acuannya. Kata-kata seperti kuda, merah, dan gambar adalah termasuk kata-kata yang bermakna referensial karena ada acuannya dalam dunia nyata. Sebaliknya, kata-kata seperti dan, atau, dan karena adalah kata-kata yang tidak bermakna referensial, karena kata-kata itu tidak mempunyai referens. Mansoer Pateda, R (2010: 125) dalam bukunya mengatakan referen atau acuan boleh saja benda, peristiwa, proses, atau kenyataan. Referen adalah sesuatu yang ditunjuk oleh lambang. Jadi, kalau seseorang mengatakan sungai, maka yang ditunjuk oleh lambang tersebut langsung dihubungkan dengan acuannya. Tidak mungkin berasosiasi yang lain.
Berkenaan dengan acuan ini, ada sejumlah kata yang disebut kata deiktik, yang acuannya tidak tetap pada satu maujud, melainkan dapat berpindah dari maujud yang satu ke maujud yang lain. Yang termasuk kata-kata deiktik ini adalah kata-kata pronomina.
3.      Makna Denotatif dan Makna Konotatif
Makna denotatif adalah makna asli, makna asal atau makna sebenarnya yang dimiliki oleh sebuah leksem. Jadi, makna denotatif ini sebenarnya sama dengan makna leksikal. Umpamanya, kata babi bermakna denotatif “ sejenis binatang yang biasa diternakan untuk dimanfaatkan dagingnya”. Kata kurus bermakna denotatif “ keadaan tubuh seseorang yang lebih kecil dari ukuran yang normal”.
Kalau makna denotatif mengacu pada makna asli atau makna sebenarnya dari sebuah kata atau leksem, maka makna konotatif adalah makna lain yang ditambahkan pada makna denotatif tadi yang berhubungan dengan nilai rasa dari orang atau kelompok orang yang menggunakan kata tersebut. Umpamanya kata babi pada contoh diatas, pada orang yang beragama Islam atau didalam masyarakat Islam mempunyai konotasi yang  negatif, ada rasa atau perasaan tidak enak bila mendengar kata itu.
Harimurti (1982: 91) dalam buku Mansoer Pateda, R (2010: 112) berpendapat “aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca).” Dengan kata lain, makna konotatif merupakan makna leksikal + X. Misalnya, kata amplop. Kata amplop bermakna sampul yang berfungsi tempat mengisi surat yang akan disampaikan kepada orang lain atau kantor, instansi, jawatan lain. Makna ini adalah makna denotasinya. Tetapi pada kalimat “Berilah ia amplop agar urusanmu segera selesai,” maka kata amplop sudah bermakna konotatif, yakni berilah ia uang.
4.      Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
Leech (1976) membagi makna menjadi makna konseptual dan makna asosiatif. Yang dimaksud dengan makna konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas dari konteks atau asosiasi apapun. Kata kuda memiliki makna konseptual “sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai”;  dan kata rumah memiliki makna konseptual “bangunan tempat tinggal manusia”. Jadi, makna konseptual sesungguhnya sama saja dengan makna leksikal, makna denotatif, dan makna referensial.
Leech (I, 1974: 25) mengemukakan dua prinsip, yakni prinsip ketidaksamaan dan prinsip struktur unsurnya. Prinsip ketidaksamaan dapat dianalisis berdasarkan klasifikasi bunyi dalam tataran fonologi yang setiap bunyi ditandai + (positif) kalau ciri dipenuhi, dan ditandai dengan – (negatif) jika ciri tidak dipenuhi. Misalnya, konsonan /b/ berciri +bilabial, +stop, - nasal.
Prinsip struktur unsurnya misalnya kata nyonya dapat dianalisis menjadi: + manusia; + dewasa; - laki-laki;. Kata buku dapat dianalisis menjadi: + nama benda; = benda padat; + digunakan sebagai tempat menulis; + digunakan oleh murid-murid atau mahasiswa; - manusia; - berkaki dua. Dengan analisisi seperti ini maka konsep sesuatu dapat diatasi.
Dihubungkan dengan keberadaan kata-kata, maka kita dapat menyebut kata yang mengandung konsep jika telah berada di dalam konteks kalimat, dan kata yang susah dibatasi makna konseptualnya karena itu selalu terikat konteks kalimat. Berdasarkan pendapat ini maka makna konseptual setiap kata dapat dianalisis dalam kemandiriannya dan dapat dianalisis setelah kata tersebut berada dalam satuan konteks. Makna konseptual sebuah kata dapat saja berubah atau bergeser setelah ditambah atau dikurangi anggotanya.
Makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan sesuatu yang berada di luar bahasa. Makna asosiatif ini sebenarnya sama dengan perlambangan yang digunakan oleh suatu masyarakat bahasa untuk menyatakan suatu konsep lain yang mempunyai kemiripan dengan sifat, keadaan atau ciri yang ada pada konsep asal kata atau leksem tersebut. Contoh: kata kursi berasosiasi dengan ’kekuasaan’; kata amplop berasosiasi dengan ’uang suap’.
5.      Makna Kata dan Makna Istilah
Setiap kata atau leksem memilki makna. Pada awalnya, makna  yang dimiliki sebuah kata adalah makna leksikal, makna denotatif, atau makna konseptual. Namun, dalam penggunaan makna kata itu baru menjadi jelas kalau kata itu berada dalam konteks kalimatnya atau konteks situasinya. Kita belum tahu makna kata jatuh sebelum kata itu berada dalam konteksnya.
a.       Adik jatuh dari sepeda.
b.      Dia jatuh dalam ujian yang lalu.
c.       Dia jatuh cinta pada adikku.
d.      Kalau harganya jatuh lagi, kita akan bangkrut.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa makna kata masih bersifat umum, kasar dan tidak jelas.  Kata tangan dan  lengan sebagai kata, maknanya lazim dianggap sama, seperti tampak pada contoh berikut:
1.      Tangannya luka kena pecahan kaca.
2.      Lengannya luka kena pecahan kaca.
Jadi, kata tangan dan lengan pada kedua kalimat di atas adalah bersinonim, atau bermakna sama.
Berbeda dengan kata, maka yang disebut istilah mempunyai makna yang pasti, yang jelas, yang tidak meragukan, meskipun tanpa konteks  kalimat. Oleh karena itu, sering dikatakan bahwa istilah itu bebas konteks. Sedangkan kata tidak bebas konteks. Tetapi perlu diingat bahwa sebuah istilah hanya digunakan pada bidang keilmuan atau kegiatan tertentu. Contohnya kata kuping dan telinga, dalam bahasa umum kedua kata itu merupakan dua kata yang bersinonim karenanya sering di pertukarkan. Tetapi sebagai istilah dalam bidang kedokteran keduanya memilki makna yang tidak sama; kuping adalah bagian yang terletak di luar, termasuk daun telinga; sedangkan telinga adalah bagian sebelah dalam. Oleh karena itu, yang sering diobati oleh dokter adalah telinga, bukan kuping.
6.      Makna Idiom dan Peribahasa
Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat ‘ diramalkan’ dari makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal. Contohnya bentuk membanting tulang dengan makna ‘bekerja keras’, meja hijau dengan makna ‘pengadilan’, dan sudah beratap seng dengan makna ‘sudah tua’. Idiom ada dua macam, yaitu:
1.      Idiom penuh
Idiom penuh adalah idiom yang semua unsur-unsurnya sudah melebur menjadi satu kesatuan, sehingga makna yang dimiliki berasal dari seluruh kesatuan itu. Contohnya meja hijau dan membanting tulang.
2.      Idiom sebagian
Idiom sebagian adalah idiom yang salah satu unsurnya masih memiliki makna leksikalnya sendiri. Misalnya buku putih, daftar hitam, dan koran kuning.

Berbeda dengan idiom, peribahasa memiliki  makna yang masih dapat di telusuri dan di lacak dari makna unsur-unsurnya karena adanya asosiasi antara makna asli dengan maknanya sebagai peribahasa. Umpamanya, peribahasa seperti anjing dengan  kucing yang bermakna ‘ dikatakan ihwal dua orang yang tidak pernah akur’. Makna ini memiliki asosiasi, bahwa binatang yang namanya anjing dan kucing jika bersua memang selalu berkelahi, tidak pernah damai.
7.      Makna Emotif
Makna emotif adalah makna yang timbul akibat adanya reaksi pembicara sikap pembicara mengenai/ terhadap apa yang dipikirkan atau dirasakan (Shipley, 1962: 261). Misalnya, kata kerbau yang muncul dalam urutan kata engkau kerbau. Kata kerbau ini menimbulkan perasaan tidak enak bagi pendengar, atau dengan kata lain, kata kerbau mengandung makna emosi. Kata kerbau dihubungkan dengan perilaku yang malas, lamban, dan dianggap sebagai penghinaan. Orang yang m,endengarnya merasa tersinggung dan tidak enak.
8.      Makna Kognitif
Makna kognitif biasanya dibedakan atas: (i) hubungan antara kata dan benda atau yang diacu, dan ini disebut denotasi, (ii) hubungan antara kata dan karakteristik tertentu, dan ini disebut konotasi kata (Shipley, 1962: 261). Makna kognitif adalah makna yang ditunjukkan oleh acuannya, makna unsure bahasa yang sangat dekat hubungannya dengan dunia luar bahasa, objek atau gagasan, dan dapat dijelaskan berdasarkan analisis komponennya.
Kata pohon bermakna tumbuhan yang berbatang keras dan besar. Jika orang berkata pohon, terbayang pada kita pohon yang selama ini kita kenal. Makna kognitif lebih berhubungan dengan dengan pemikiran kata tentang sesuatu.
9.      Makna Piktorial
Makna piktorial adalah makna yang muncul akibat bayangan pendengar atau pembaca terhadap kata yang didengar atau dibaca (cf, Shipley, 1962: 261).
Dalam BI terdapat kata kakus. Orang yang mendengar atau membaca kata kakus, akan terbayang hal-hal yang berhubungan dengan kakus.
10.  Makna Pusat
Makna pusat atau makna inti adalah makna yang dimiliki setiap kata meskipun kata tersebut tidak berada di dalam konteks kalimat.
Dalam BI terdapat kata-kata malam, meja, melihat, tinggi. Kata buku termasuk kategori nominal, kata meja juga. Kata melihat termasuk kategori verba, kata timggi termasuk kategori ajektif, dan kata malam tergolong kategori adverb.
Makna pusat dapat diketahui setelah seseorang menetapkan dari segi mana ia memandang kata.
Misalnya, kata melihat yang masuk kategori verbal. Makna kata melihat dapat dirinci dari (i) kegiatan, (ii) objek, dan (iii) hasilnya. Dilihat dari segi kegiatan, makna pusat kata melihat, yakni melaksanakan kegiatan…………; dilihat dari segi objek, maka makna pusat kata melihat, yakni……..yang ditujukan kepada……; dan jika dilihat dari segi hasilnya, maka makna pusat kata melihat, yakni…..untuk mengetahui……
E.     Kesimpulan
Setelah kita melihat pembahasan yang telah dipaparkan di atas maka penulis menyimpulkan bahwa:
Dalam kehidupan sehari-hari makna sangat berperan dalam komunikasi. Makna memiliki beberapa jenis yaitu
1.      Makna Leksikal, Gramatikal, dan  Kontekstual
2.      Makna Referensial dan Non-referensial
3.      Makna Denotatif dan Makna Konotatif
4.      Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
5.      Makna Kata dan Makna Istilah
6.      Makna Idiom dan Peribahasa
7.      Makna Emotif
8.      Makna kognitif
9.      Makna piktorial
10.  Makna inti
F.      Daftar Pustaka
Chaer, Abdul. 2007. Lingustik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
R, Mansoer Pateda. 2010. Semantik leksikal. Jakarta: Rineka Cipta.
Belajar Bahasa Indonesia yu?. 2011. Jenis Makna. http://jenis-makna.blogspot.com.   (01 Oktober 2011, 05:55).

Kamis, 10 Mei 2012

Inteferensi dan Integrasi Bahasa Indonesia

Interferensi dan Integrasi
A.  Interferensi
            Pengertian interferensi menurut para ahli di bidang sosiolinguistik:
            Menurut pendapat Chaer (1998: 159) interferensi pertama kali digunakan oleh Weinrich untuk menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual. Peristiwa interferensi merupakan penyimpangan dalam penggunaan suatu bahasa dengan memasukkan sistem bahasa lain, juga penggunaan klausa dari bahasa lain dalam suatu kalimat.
            Menurut Hartman dan Stonk dalam Chair (1998: 160) interferensi terjadi akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibu atau dialek ke dalam bahasa atau dialek kedua.
            Abdulhayi (1985: 8) mengacu pada pendapat Valdman (1966) merumuskan bahwa interferensi merupakan hambatan sebagai akibat adanya kebiasaan pemakai bahasa ibu (bahasa pertama) dalam penguasaan bahasa yang dipelajari (bahasa kedua). Sehingga terjadi transfer antara kedua bahasa tersebut.
            Jendra (1995: 187) menyatakan bahwa interferensi sebagai gejala penyusupan sistem suatu bahasa ke dalam bahasa lain.
Menurut  Yusuf ( 1994: 67) faktor utama yang dapat menyebabkan interferensi adalah perbedaan antara bahasa sumber dan bahasa sasaran. Perbedaan itu tidak hanya dalam struktur bahasa melainkan juga keragaman kosakata.
            Ada tiga ciri pokok perilaku atau sikap bahasa yang dikemukakan oleh Bawa (1981: 8) yaitu:
1.  Language loyality, merupakan sikap loyalitas/ kesetiaan terhadap bahasa;
2.  Language pride, merupakan sikap kebanggaan terhadap bahasa;
3.  Awareness of the norm, merupakan sikap sadar adanya norma bahasa.
Jika wawasan terhadap ketiga ciri pokok atau sikap bahasa itu kurang sempurna dimiliki sseorang, berarti penutur bahasa itu bersikap kurang positif terhadap keberadaan kebahasaannya. Hal seperti ini yang menjadi latar belakang timbulnya interferensi.
Menurut Jendra (1991: 105) ada tiga unsur pokok pembangun interferensi, yaitu:
1.  Bahasa sumber atau bahasa donor  adalah bahasa yang menyusup unsur-unsurnya atau sistemnya ke dalam bahasa lain;
2.  Bahasa penerima atau bahasa resipien adalah bahasa yang menerima atau yang disisipi oleh bahasa sumber;
3.  Adanya unsur bahasa yang terserap (importasi) atau unsur serapan.
Dari pengertian para ahli di atas dapat disimpulkan menjadi:
1.  Kontak bahasa menimbulkan gejala interferensi dalam tuturan dwibahasawan.
2.  Interferensi merupakan gejala penyususpan system suatu bahasa ke dalam nahasa lain.
3.  Unsur bahasa yang menyusup ke dalam struktur bahasa yang lain dapat menimbulkan dampak negatif.
4.  Interferensi merupakan gejala ujaran yang bersifat perseorangan, dan ruang geraknya dianggap sempit yang terjadi sebagai gejala parole (speech).
Contoh interferensi:
Interfernsi dalam bidang fonologi berupa penambahan fonem. Contohnya: gombong diucapkan ngGombong.
Interferensi dalam bidang morfologi berupa penyerapan afiks-afiks bahasa lain dalam pembentukan kosakata. Contohnya kepukul, bentuk benarnya terpukul.
Interferensi dalam bentuk kalimat berupa penggunaan pola struktur kalimat yang kurang tepat. Contohnya: makanan itu telah dimakan oleh saya………………makanan itu telah saya makan.
Interferensi semantik berupa:
-     Bahasa resipien menyerap konsep kultural beserta namanya dari bahasa lain. contoh : kata demokrasi, politik, revolusi yang berasal dari bahasa Yunani-Latin.
-     Campur kode adalah pemakaian dua bahasa tau lebih dengan saling memasukkan unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain secara konsisten.



Jenis interferensi
Ardiana (1940: 14) membagi interferensi menjadi lima macam, yaitu:
1.  Interferensi kultural, dalam tuturan dwibahasawan muncul unsur-unsur asing sebagai akibat usaha penutur untuk menyatakan fenomena atau pengalaman baru;
2.  Interferensi semantik adalah interferensi yang terjadi dalam penggunaan kata yang mempunyai variable dalam suatu bahasa;
3.  Interferensi leksikal, masuknya unsur leksikal bahasa pertama atau bahasa asing ke dalam bahasa kedua;
4.  Interferensi fonologis mencakup intonasi, irama penjedaan, dan artikulasi;
5.  Interferensi grammatikal meliputi interferensi morfologis, fraseologis, dan sintaksis.
Interferensi menurut Jendra (1991: 106-114) :
1.  Interferensi ditinjau dari asal unsur serapan
Interferensi antar unsur sekeluarga disebut dengan penyusupan sekeluarga (internal interference). Sedangkan penyusupan unsur bahasa yang tidak sekeluarga disebut penyusupan bukan sekeluarga (eksternal interference).
2.  Interferensi ditinjau dari arah unsur serapan
Interferensi yang timbal balik antara ketiga unsur komponennya diebut dengan interferensi produktif. Bahasa yang hanya berkedudukan sebagai bahasa sumber terhadap bahasa lain atau interferensi sepihak disebut dengan interferensi reseptif.
3.  Interferensi ditinjau dari segi perilaku
Interfernsi ini bersifat perorangan  dan dianggap sebagai gejala penyimpangan dalam kehidupan bahasa karena unsur serapan itu sesungguhnya telah ada dalam bahasa penerima.
4.  Interferensi ditinjau dari segi bidang
Bila interferensi itu sampai menimbulkan perubahan dalam sistem bahasa penerima disebut dengan interferensi sistemik.
Dennes dkk. (1994: 17) mengidentifikasi interferensi menjadi empat:
1.  Dalam peminjaman unsur bahsa yang unsur-unsur bahasanya dipinjam disebut bahasa sumber, sedangkan bahasa penerima disebut bahasa peminjam;
2.  Dalam penggantian unsur suatu bahasa dengan padanannya ke dalam bahasa lain terdapat aspek dari bahasa yang disalin ke dalam bahasa lain yang disebut dengan substitusi;
3.  Penerapan hubungan ketatabahasaan bahasa A ke dalam morfem bahasa B juga dalam kaitan tuturan bahasa B atau pengingkaran hubungan ketatabahasaan bahasa B yang tidak ada modelnya dalam bahasa A;
4.  Perubahan fungsi morfem melalui jati diri antara suatu morfem bahasa B tertentu dengan morfem bahasa A tertentu yang menimbulkan perubahan fungsi morfem bahasa B berdasarkan satu model tata bahasa A.
Jendra (1991; 108) membedakan interferensi menjadi lima aspek kebahasaan, antara lain:
1.  Interferensi fonologi;
2.  Interferensi morfologi;
3.  Interferensi sintaksis;
4.  Interferensi semantik;
-     Interferensi semantik perluasan, apabila terjadi peminjaman konsep budaya dan juga nama unsur bahasa sumber.
-     Interferensi semantik penambahan,apabila muncul bentuk baru berdampingan dengan bentuk lama, tetapi bentuk baru bergeser dari makna semula.
-     Interferensi semantik penggantian, apabila muncul makna konsep baru sebagai pengganti konsep lama.
Yusuf (1994: 71) membagi interferensi menjai empat jenis, yaitu:
1.  Interferensi bunyi, terjadi karena pemakaian bunyi satu bahasa ke dalam bahasa yang lain dalam tuturan dwibahasawan;
2.  Interferensi tata bahasa, terjadi apabila dwibahasawan mengidentifikasi morfem atau tata bahasa pertama kemudian menggunakannya dalam bahasa keduanya;
3.  Interferensi kosakata, terjadi pada kata dasar, kelompok kata ataupun frasa;
4.  Interferensi tata makna
-     Interferensi perluasan makna
-     Interferensi penambahan makna
-     Interferensi penggantian makna
Huda (1981: 17) mengidemtifikasi interferensi menjadi empat macam :
1.  Mentransfer suatu unsur bahasa ke dalam bahasa yang lain;
2.  Adanya perubahan fungsi dan kategori yang disebabkan oleh adanya pemindahan;
3.  Penerapan unsur-unsur bahasa kedua yang berbeda dengan bahasa pertama;
4.  Kurang diperhatikannya struktur bahasa kedua mengingat tidak ada ekuivalensi dalam bahasa pertama.


Faktor penyebab terjadinya interferensi
Menurut Weinrich (1970: 64-65) ada beberapa factor yang menyebabkan terjadinya interferensi:
1.    Kedwibahasaan peserta tutur;
2.    Tipisnya kesetiaan pemakai bahasa penerima;
3.    Tidak cukupnya kosakata bahasa penerima;
4.    Menghilangnya kata-kata yang jarang digunakan;
5.    Kebutuhan akan sinonim;
6.    Prestise bahasa sumber dan gaya bahasa
7.    Terbawanya kebiasaan dalam bahasa ibu;
B.   Integrasi
            Integrasi adalah penggunaan unsur bahasa lain secara sistematis seolah-olah merupakan bagian dari suatu bahasa tanpa disadari oleh pemakainya (kridalaksana 1993: 84). Salah satu proses integrasi adalah peminjaman kata dari satu bahasa ke dalam bahasa lain.
            Chair dan Agustina (1995: 168) mengacu pada pendapat Mackey, menyatakan bahwa integrasi  adalah unsur-unsur bahasa lain yang digunakan dalam bahsa tertentu dan dianggap sudah menjadi bagian dari bahasa tersebut.
            Jika suatu unsur serapan atau iterferensi sudah dicantumkan dalam kamus bahasa penerima, dapat dikatakan unsur itu sudah terintegrasi. Dalam proses integrasi unsur serapan itu telah disesuaikan dengan sistem atau kaidah bahasa penyerapnya, sehingga tidak terasa lagi keasingannya. Penyesuain bentuk integrasi tidak selamanya terjadi dengan cepat, bisa saja berlangsung agak lama. Jangka waktu penyesuaian unsur integrasi tergantung pada tiga faktor, antara lain:
1.  Persamaan dan perbedaan sistem bahasa sumber dengan bahasa penyerapnya;
2.  Unsur  serapan itu sendiri;
3.  Sikap bahasa pada penutur bahasa penyerapnya.